Rumah tidak layak huni yang kita jumpai pada awal masa ode baru. Kebijakan perumahan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan pemilihan strategi pembangunan ekonomi berbasis industrialisasi, terutama sejak pencapaian swasembada pangan pada tahun 1980-an.
Dalam hal ini, ukuran keberhasilan pembangunan (termasuk perumahan) mengacu pada paradigma ekonomi dan kesejahteraan sosial yang menekankan pada faktor pertumbuhan sehingga pembangunan perumahan hanya dilakukan jika dapat menjamin pertumbuhan ekonomi (Parwoto 2001).
Kebijakan perumahan pada saat itu berada di bawah kewenangan pemerintah yang digunakan sebagai sarana redistribusi pusat-pusat pertumbuhan daerah dan juga sebagai mekanisme penanggulangan kemiskinan.
Namun dalam perkembangannya, fungsi rumah sebagai objek investasi dan komoditas (kemunculan developer) mengalami pergeseran yang menyebabkan kenaikan harga properti. Hal ini lah yang disampaikan oleh team jual rumah Gading serpong sebagai bagian dari paremounnt land.
Pergeseran sasaran kebijakan perumahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gagalnya strategi industrialisasi dan pecahnya krisis ekonomi.
Kenaikan harga rumah mempersulit masyarakat miskin perkotaan untuk mengatasi ketidakberdayaan mereka kecuali mereka memiliki akses administratif dan esensial ke sumber daya pembangunan perkotaan yang penting (terutama lahan di daerah perkotaan).
Peraturan yang ada dapat memungkinkan siapa saja untuk menggunakan akses sumber daya utama di kota (sesuai dengan prinsip persaingan / pasar bebas).
Tetapi jika persyaratan yang perlu disediakan hanya dipenuhi oleh mereka yang memiliki modal (sesuai Prinsip) dari kapitalisme) maka orang miskin tidak akan pernah memiliki akses langsung ke sumber daya utama ini.
Ekonomi menangis
Pada pertengahan tahun 1997 krisis ekonomi sangat mengguncang perekonomian dunia. Begitu juga kondisi di tanah air yang berakibat meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dimana pada tahun 2004 terdapat 36,1 juta orang atau 16,6% dari jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Pemerintah pusat dan daerah tidak siap selama krisis ini. Selain itu, penduduk miskin di Indonesia terus bertambah akibat pandemi Covid-19 yang sedang marak.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pertumbuhan angka kemiskinan mencapai 10,63%. Hal ini tentunya akan berdampak pada bertambahnya jumlah rumah yang tidak layak huni (RTLH).
mobilitas
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang hampir mencapai dua kali lipat dari rata-rata nasional tanpa diselaraskan dengan pembangunan kapasitas perkotaan dalam berbagai aspek.
Diantanya termasuk kualitas sumber daya manusia, ketertiban umum, regulasi dan perencanaan telah menyebabkan penurunan daya dukung kota dalam hal pengendalian fisik, layanan, dan pertumbuhan.
Di sisi lain, proses pembangunan yang pesat tidak berjalan selaras dan menyisakan kesenjangan seperti: jurang antara kota besar dan kota kecil, jurang sistem kota dan jurang antara desa dan kota.
Agar kota-kota besar menjadi lebih besar (tidak terkendali) dan kota-kota kecil / menengah di sekitarnya tumbuh dengan cepat, daerah pedesaan justru kehilangan vitalitasnya (terutama di Pulau Jawa).
Semakin banyak kota besar di Indonesia, semakin besar gejala yang tidak terduga. Misalnya, masih tingginya jumlah pekerja yang belum diterima menjadi peluang kerja produktif, fasilitas perumahan yang tidak memadai, munculnya permukiman kumuh dengan derajat yang berbeda-beda, pencemaran lingkungan, serta munculnya tekanan sosial dan psikologis.
Kawasan strategis diubah menjadi fungsi komersial dan fungsi hunian dipindahkan ke kawasan pinggiran atau administratif sekitarnya. Kawasan secara fisik menjadi satu sistem perkotaan (aglomerasi).
Perubahan yang terjadi begitu cepat sehingga kesiapan kota, baik dari segi perencanaan maupun pengelolaan dan pelayanannya tidak mampu memprediksi dampak dari perubahan tersebut. Maka dampaknya, banyak sekali perumahan dan pemukiman yang tidak layak huni tersebar di hampir setiap sudut kota.
Baca Juga: 7 Cara Membuat Instagram Bisnis Menarik
Konsep rumah sangat sederhana (RSS)
Konsep ini diluncurkan pada tahun 1990-an dan dimulai dengan rumah Tipe 21. Seiring perkembangannya, rumah ini tumbuh dan berubah menjadi hunian tidak layak huni karena kurangnya pembinaan dan dukungan dalam perkembangannya.
Demikian ulasan mengenai rumah tidak layak huni yang dapat saya sampaikan, semoga menjadi informasi dan sumber inspirasi bagi Anda pembaca.