Wamenkumham menilai tentang pasal UU ITW terindikasi multitafsir, yaitu 27, 28, 29 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Menurut, Edward Omar Sharif selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) pasal-pasal tersebut memiliki indikasi untuk ditafsirkan dengan beberapa cara berbeda.
Pasal yang multitafsir, berarti tidak memenuhi persyaratan legalitas yang seharusnya. Norma harus memenuhi hal tertentu pada persyaratan legalitas, karena jika tidak memenuhi persyaratan akan menimbulkan keresahan pada masyarakat.
Bahaya yang timbul adalah, seorang jurnalis, aktivis, maupun masyarakat yang kritis, bisa saja terkriminalisasi dengan adanya pasal karet yang multitafsir. Tujuan kriminalisasi tersebut, untuk membungkam pihak-pihak yang melayangkan kritik, jadi penerapan undang-undang ini menimbulkan masalah, beberapa pihak menjadi korban.
Ketiga pasal 27, 28, 29 yang multitafsir itu, terdapat pada Undang-undang nomor 19 tahun 2016 mengenai ITE. Berikut rangkuman keterangan mengenai penyebab tiga pasal UU ITE dianggap multitafsir, dan sikap pemerintah terhadap pemberitaan pasal tersebut.
PASAL UU ITE TERINDIKASI MULTITAFSIR Tidak Memenuhi Syarat Legalitas
Eddy, sapaan dari Wamenkumham, mengungkapkan ketiga pasal itu tidak memenuhi syarat legalitas. Keterangan ini menjadi kunci utama saat Eddy menjadi pembicara kunci pada diskusi publik.
Pada acara dengar pendapat tersebut mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik menurut KUHP, Undang-undang ITE, dan RUU KUHP. Acara tersebut terselenggara dengan baik di Semarang, Jawa Tengah.
Syarat Legalitas Pada Sebuah Norma
Edward Omar Sharif menyatakan ada empat syarat mutlak bagi norma untuk memenuhi syarat legalitas. Syarat pertama adalah tiada pidana tanpa undang-undang yang berlaku sebelumnya, tiada pidana tanpa adanya undang-undang tertulis.
Untuk syarat ketiga adalah tiada pidana tanpa adanya aturan mengenai undang-undang yang jelas, serta tiada pidana jika tidak ada undang-undang ketat. Sedangkan, pasal 27, 28, serta 29, pada UU ITE nomor 19 tahun 2016, tidak mampu memenuhi persyaratan ketiga dan keempat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Wamenkumham membenarkan pendapat presiden, yang mengatakan ketiga pasal tersebut multitafsir.
Arahan Dari Presiden Mengenai UU ITE
Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia memberikan arahan untuk menyusun UU ITE dengan semangat menjaga ruang online Indonesia. Dengan semangat tersebut, tercipta ruang online Indonesia yang sehat, bersih,, produktif dan beretika.
Keterangan lain yang akhirnya terhimpun dalam berita politik ini adalah, Wamenkumham menyatakan pemberlakuan UU ITE memunculkan keresahan. Karena, adanya aksi saling melapor di kalangan masyarakat.
Arahan dari presiden, merupakan momentum untuk melakukan pengkajian kembali terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pasal 27, 28, 29. Eddy melanjutkan, berdasarkan arahan presiden, jika pasal tersebut menimbulkan ketidakadilan, perlu ada tindakan yang terkait dengan revisi atau penghapusan pasal-pasal karet.
Pemerintah membentuk tim kajian Undang-undang ITE yang berkoordinasi dengan Kementrian koordinator bidang Politik, hukum dan keamanan (Kemenko Polhukam). Selain itu, pemerintah juga membentuk dua tim, yang memiliki tugasnya masing-masing.
Satu tim bertanggung jawab terhadap pembahasan pedoman penerapan undang-undang ITE. Tujuannya, agar undang-undang tersebut tidak menjadi pasal karet yang mengkriminalisasi masyarakat yang mengungkapkan kritik.
Sedangkan, satu tim lainnya bertanggung jawab untuk mempersiapakan perencanaan revisi terhadap beberapa pasal yang terdeteksi multitafsir pada undang-undang ITE.
Berdasarkan informasi mengenai tiga pasal UU ITE yang terindikasi multitafsir. Jadi, pemerintah mengambil tindakan dengan mengkaji ulang 3 pasal pada undang-undang ITE tersebut.
Mungkin Anda tertarik: 5 PENYAKIT UMUM DI INDONESIA
Langkah yang kemudian ditetapkan pemerintah adalah membentuk beberapa tim yang memiliki tugasnya masing-masing. Tujuannya adalah untuk pengkajian ulang UU ITE. Salah satu tujuan pengkajian ulang adalah, mencegah undang-undang menjadi pasal karet, yang dapat mengkriminalisasi masyarakat karena kritikan yang dilontarkan.